Senin, 18 Oktober 2010

REAKSI AUTOIMUN, HIPERSENSITIFITAS dan IMUNODEFISIENSI

BAB  I
REAKSI AUTOIMUN

1.1    DEFINISI
Gangguan autoimun adalah kegagalan fungsi sistem kekebalan dalam tubuh yang membuat badan menyerang jaringannya sendiri.
Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadaap antigen sel jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody

1.2    TEORI-TEORI AUTOIMUN
·       Teori Sequestered antigen atau hidden antigen
Sequestered antigen atau hidden antigen adalah antigen yang karena sawar anatomic tak pernah berhubungan dengan sistem imun. Misalnya antigen sperma, lensa mata dan saraf pusat. Bila sawar rusak dapat timbul penyakit autoimun.
·      Teori Defisiensi imun
Hilangnya self tolerance mungkin disebabkan oleh karena adanya gangguan system limfoid. Penyakit autoimmune sering ditemukan bersamaan dengan defesiensi imun.
Misalnya pada usia lanjut
·       Determinan antigen baru
Pembentukan autoantibodi dapat dicetuskan oleh karena timbul determinan antigen barupada protein normal. Contohnya autoantibodi yang timbul akibat hal tersebut adalah faktor rematoid. Faktor rematoid di bentuk dalam determinan antigen yang terdapat pada imunoglobulin.
·       Reaksi Silang dengan Mikroorganisme
Kerusakan jantung pada demam rematik anak , diduga terjadi akibat produksi antigen yang bereaksi silang dengan miocard penderita
·       Virus sebagai pencetus Autoimunitas
Virus yang terutama menginfeksi sistem limfoid dapat mempengaruhi mekanisme kontrol imunologik sehingga terjadi autoimunitas.

·       Autoantibody dibentuk Sekunder akibat Kerusakan jaringan
Autoantibody terhadap jantung ditemukan pada jantung infark. Pada umumnya kadar autoantibody dapat dibentuk pola terhadap antigen mitokondria pada kerusakan hati atau jantung.Pada tuberculosis Dan tripanosomiasis yang menimbulkan kerusakan luas pada berbagai jaringan, dapat pula ditemukan autoantibody terhadap antigen jarinagan dalam kadar gula yang rendah.

1.3    ETIOLOGI
·      Senyawa yang ada di badan dan normalnya dibatasi di area tertentu (dan disembunyikan dari sistim kekebalan tubuh ) kemudian dilepaskan pada aliran darah.Misalnya : pukulan kemata bisa membuat cairan bola mata dilepas pada aliran darah. Cairan merangsang sistem kekebalan tubuh untuk mengenali mata sebagai benda asing, dan menyerangnya.
·      Senyawa normal ditubuh berubah, misalnya oleh virus, obat, sinar matahari atau radiasi. Sel tubuh yang diserang oleh tubuh atau bakteri akan merangsang kekebalan tubuh untuk menyerangnya.
·      Senyawa asing yang menyerupai senyawa alami tubuh mungkin memasuki tubuh. Sistim kekebalan tubuh yang kurang hati – hati dapat mengakibatkan senyawa mirip tubuh sebagai sasaran. Misalnya : Bakteri penyebab penyakit kerongkongan mempunyai beberapa anti gen,yang mirip denagan ati gen sel jantung manusia.
·      Sel yang mengontrol produksi anti bodi misalnya limfosit B, mungkinn rusak dan menghasilkan antibodi abnormal yang menyerang beberapa sel badan.
·      Keturunan mungkin terlibat dalam beberapa kerancauan autoimun. Pada orang yang rentan, satu pemicu, seperti infeksi virus atau kerusakan jaringan, dapat membuat kekacauan berkembang.




1.4    GEJALA
Gangguan autoimun dapat menyebabkan demam. Tetapi gejala berfariasi bergantung pada gangguan dari bagian badan yang diserang. Beberapa gangguan autoimun mempengaruhi jenis tertentu dari jaringan tubuh diseluruh tubuh misalnya pembuluh darah, tulang rawan, atau kulit.Hasil dari peradangan dan kerusakan jaringan bisa menyebabkan rasa sakit, merusak bentuk sendi, kelemahan, penyakit kuning, gatal, kerusakan pernapasan, penumpukan cairan, bahkan menyebabkan kematian.

1.5    MEKANISME RUSAKNYA TOLERANSI DAN JARINGAN
Rusaknya Jaringan
Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang tidak tepat pada antigen Presenting cell, ekspresi lokal molekul ko-stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri dipresentasikan ke sistim imun. Hal – hal tersebut terjadi saat inflamasi atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik. Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe ( dan juga ke antigen-presenting cells ) dan juga menginduksi ekspresi molekul MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida tersebut dinamakan Cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang telah ada sebelumnya.
Mekanisme rusaknya Jaringan
Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi ( hipersentivitas tipe II dan III ) atau aktivasi makrofag aleh sel T CD4 + ATAU SEL T sitotoksik ( hipersentivitas tipe IV ). Mekanisme kerusakan dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibody dengan sel T.
Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme hipersentivitas, autoantibody juga dapat menyebabkan kerusakan dengan terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, sperti pada reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma. Autoantibody tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand endogen dari antigen diri , sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang diperantarai antibody pada utoimunitas terjadi bila autoantibody mengenali antigen yang bebas dicairan ekstra seluler atau diekspresikan pada permukaan sel.

1.6    MACAM GANGGUAN AUTOIMUN
Beberapa Gangguan Autoimun
Gangguan
Jaringan yang terkena
Konsekwensi
Anemia hemolitik autoimun
Sel darah merah
Anemia (berkurangnya jumlah sel darah merah) terjadi, menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.
Limpa mungkin membesar.
Anemia bisa hebat dan bahkan fatal.
Bullous pemphigoid
Kulit
Lepuh besar, yang kelilingi oleh area bengkak yang merah, terbentuk di kulit.
Gatal biasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Sindrom Goodpasture
Paru-paru dan ginjal
Gejala, seperti pendeknya nafas, batuk darah, kepenatan, bengkak, dan gatal, mungkin berkembang.
Prognosis baik jika pengobatan dilaukan sebelum kerusakan paru-paru atau ginjal hebat terjadi.
Penyakit Graves
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok dirangsang dan membesar, menghasilkan kadar tinggi hormon thyroid (hyperthyroidism).
Gejala mungkin termasuk detak jantung cepat, tidak tahan panas, tremor, berat kehilangan, dan kecemasa.
Dengan pengobatan, prognosis baik.
Tiroiditis Hashimoto
Kelenjar tiroid
Kelenjar gondok meradang dan rusak, menghasilkan kadar hormon thyroid rendah (hypothyroidism).
Gejala seperti berat badan bertambah, kulit kasar, tidak tahan ke dingin, dan mengantuk.
Pengobatan seumur hidup dengan hormon thyroid perlu dan biasanya mengurangi gejala secara sempurna.
Multiple sclerosis
Otak dan spinal cord
Seluruh sel syaraf yang terkena rusak. Akibatnya, sel tidak bisa meneruskan sinyal syaraf seperti biasanya.
Gejala mungkin termasuk kelemahan, sensasi abnormal, kegamangan, masalah dengan pandangan, kekejangan otot, dan sukar menahan hajat.
Gejala berubah-ubah tentang waktu dan mungkin datang dan pergi.
Prognosis berubah-ubah.
Myasthenia gravis
Koneksi antara saraf dan otot (neuromuscular junction)
Otot, teristimewa yang dipunyai mata, melemah dan lelah dengan mudah, tetapi kelemahan berbeda dalam hal intensitas. Pola progresivitas bervariasi secara luas.
Obat biasanya bisa mengontrol gejala.
Pemphigus
Kulit
Lepuh besar terbentuk di kulit.
Gangguan bisa mengancam hidup.
Pernicious anemia
Sel tertentu di sepanjang perut
Kerusakan pada sel sepanjang perut membuat kesulitan menyerap vitamin B12. (Vitamin B12 perlu untuk produksi sel darah tua dan pemeliharaan sel syaraf).
Anemia adalah, sering akibatnya menyebabkan kepenatan, kelemahan, dan sakit kepala ringan.
Syaraf bisa rusak, menghasilkan kelemahan dan kehilangan sensasi.
Tanpa pengobatan, tali tulang belakang mungkin rusak, akhirnya menyebabkan kehilangan sensasi, kelemahan, dan sukar menahan hajat.
Risiko kanker perut bertambah.
Juga, dengan pengobatan, prognosis baik.
Rheumatoid arthritis
Sendi atau jaringan lain seperti jaringan paru-paru, saraf, kulit dan jantung
Banyak gejala mungkin terjadi.
termasuk demam, kepenatan, rasa sakit sendi, kekakuan sendi, merusak bentuk sendi, pendeknya nafas, kehilangan sensasi, kelemahan, bercak, rasa sakit dada, dan bengkak di bawah kulit.
Progonosis bervariasi
Systemic lupus erythematosus (lupus)
sendi, ginjal, kulit, paru-paru, jantung, otak dan sel darah
Sendi, walaupun dikobarkan, tidak menjadi cacat.
Gejala anemia, seperti kepenatan, kelemahan, dan ringan-headedness, dan yang dipunyai ginjal, paru-paru, atau jantung mengacaukan, seperti kepenatan, pendeknya nafas, gatal, dan rasa sakit dada, mungkin terjadi.
Bercak mungkin timbul.
Ramalan berubah-ubah secara luas, tetapi kebanyakan orang bisa menempuh hidup aktif meskipun ada gejolak kadang-kadang kekacauan.
Diabetes mellitus tipe 1
Sel beta dari pankreas (yang memproduksi insulin)
Gejala mungkin termasuk kehausan berlebihan, buang air kecil, dan selera makan, seperti komplikasi bervariasi dengan jangka panjang.
Pengobatan seumur hidup dengan insulin diperlukan, sekalipun perusakan sel pankreas berhenti, karena tidak cukup sel pankreas yang ada untuk memproduks iinsulin yang cukup.
Prognosis bervariasi sekali dan cenderung menjadi lebih jelek kalau penyakitnya parah dan bertahan hingga waktu yang lama.
Vasculitis
Pembuluh darah
Vasculitis bisa mempengaruhi pembuluh darah di satu bagian badan (seperti syaraf, kepala, kulit, ginjal, paru-paru, atau usus) atau beberapa bagian. Ada beberapa macam. Gejala (seperti bercak, rasa sakit abdominal, kehilangan berat badan, kesukaran pernafasan, batuk, rasa sakit dada, sakit kepala, kehilangan pandangan, dan gejala kerusakan syaraf atau kegagalan ginjal) bergantung pada bagian badan mana yang dipengaruhi.
Prognosis bergantung pada sebab dan berapa banyak jaringan rusak.
Biasanya, prognosis lebih baik dengan pengobatan





1.7    DIAGNOSA
Pemeriksaan darah yang menunjukkan adanya radang dapat diduga sebagai gangguan autoimun. Misalnya pengendapan laju eritrosit sering kali meningkat,karena protein yang dihasilkan dalam merespon radang mengganggu kemampuan sel darah merah untuk tetep didarah. Pemeriksaan autoantibody untuk diagnosis penyakit autoimun
Penyakit
Antibodi
Tiroditis Hashimoto
Tiroid
Miksedema primer
Tiroid
Tirotoksikosis
Tiroid
Anemia pernisiosa
Lambung
Atrofi adrenal idiopatik
Adrenal
Miastenia gravis
Otot, reseptor asetilkolin
Pemvigus vulgaris dan pemfigoid
Kulit
Anemia hemolitik autoimun
Eritrosit (uji Coombs)
Sindrom Sjogren
Sel duktus salivarius
Sirosis biliar orimer
Mitokondria
Hepatitis kronik aktif
Anti Sm, mitokondria
Artritis reumatoid
Antiglobulin
Skleroderma
Nukleolus
Penyakit jaringan ikat lain
Nukleolus

1.8    PENGOBATAN
Pengobatan memerlukan kontrol reaksi autoimmune dengan menekan sistem kekebalan tubuh. Tetapi, beberapa obat digunakan reaksi autoimmune juga mengganggu kemampuan badan untuk berjuang melawan penyakit, terutama infeksi.
Obat yang menekan sistem kekebalan tubuh (imunosupresan), seperti azathioprine, chlorambucil, cyclophosphamide, cyclosporine, mycophenolate, dan methotrexate, sering digunakan, biasanya secara oral dan seringkali dengan jangka panjang. Tetapi, obat ini menekan bukan hanya reaksi autoimun tetapi juga kemampuan badan untuk membela diri terhadap senyawa asing, termasuk mikro-jasad penyebab infeksi dan sel kanker. Konsekwensinya, resiko infeksi tertentu dan kanker meningkat.sering, kortikosteroid, seperti prednison, diberikan, biasanya secara oral.




























BAB II
REAKSI HIPERSENSITIVITAS

2.1    DEFINISI
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah perubahan spesifik, didapat, pada reaktivitas hospes yang diperantarai oleh mekanisme imunologis dan menyebabkan respons fisiologis yang tidak menguntungkan (Behrman, 2000).
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas (Indonesia Children, 2009).
Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing

2.2    TIPE REAKSI HIPERSENSITIVITAS
Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.
Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.
1.    Reaksi Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi hipersensitivitas tipe I atau yang biasa disebut dengan reaksi anafilaksis merupakan reaksi yang timbul segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E. Reaksi ini terjadi secara cepat (secara khusus hanya dalam bilangan menit). Antigen bereaksi dengan antibodi IgE yang terikat ke permukaan sel mast, menyebabkan pelepasan mediator yang dikandungnya diantaranya histamin, eosinophil chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic factor (NCF). Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut :
1. Fase Sensitasi
Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil.
2. Fase Aktivasi
Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi.
3. Fase Efektor
Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik.
Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1 ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan, kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.
Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam lambung, kejang usus, dan diare.
Penyakit-penyakit yang ditimbulkan segera sesudah tubuh terpajan dengan alergen biasanya adalah asma bronchial, alergi, anafilaksis, diare, dan dermatitis.
2.    Reaksi Hipersensitivitas Tipe II
Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut :
a.    Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence
b.    Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell)
c.    Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe II
1)   Reaksi Transfusi
        Menurut system ABO, sel darah manusia dibagi menjadi 4 golongan yaitu A, B, AB dan O. Selanjutnya diketahui bahwa golongan A mengandung antibodi (anti B berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan B, darah golongan B mengandung antibodi (anti A berupa Ig M) yang mengaglutinasikan eritrosit golongan A, golongan darh AB tidak mengandung antibodi terhadap antigen tersebut dan golongan darh O mengandung antibodi (Ig M dan Ig G) yang dapat mengaglutinasikan eritrosit golongan A dan B. Antibodi tersebut disebut isohemaglutinin.
        Aglutinin tersebut timbul secara alamiah tanpa sensitasi atau imunisasi. Bentuk yang paling sederhana dari reaksi sitotoksik terlihat pada ketidakcocokan transfusi darah golongan ABO. Ada 3 jenis reaksi transfusi yaitu reaksi hemolitik yang paling berat, reaksi panas, dan reaksi alergi seperti urtikaria, syok, dan asma. Kerusakan ginjal dapat pula terjadi akibat membrane sel yang menimbun dan efek toksik dan kompleks haem yang lepas.
2)   Reaksi Antigen Rhesus
        Ada sejenis reaksi transfusi yaitu reaksi inkompabilitas Rh yang terlihat pada bayi baru lahir dari orang tuanya denga Rh yang inkompatibel (ayah Rh+ dan ibu Rh-). Jika anak yang dikandung oleh ibu Rh- menpunyai darah Rh+ maka anak akan melepas sebagian eritrositnya ke dalam sirkulasi ibu waktu partus. Hanya ibu yang sudah disensitasi yang akan membentuk anti Rh (IgG) dan hal ini akan membahayakan anak yang dikandung kemudian. Hal ini karena IgG dapat melewati plasenta. IgG yang diikat antigen Rh pada permukaan eritrosit fetus biasanya belum menimbulkan aglutinasi atau lisis. Tetapi sel yang ditutupi Ig tersebut mudah dirusak akibat interaksi dengan reseptor Fc pada fagosit. Akhirnya terjadi kerusakan sel darah merah fetus dan bayi lahir kuning, Transfusi untuk mengganti darah sering diperlukan dalam usaha menyelamatkan bayi.                  
3)   Anemia Hemolitik autoimun
        Akibat suatu infeksi dan sebab yang belum diketahui, beberapa orang membentuk Ig terhadap sel darah merah sendiri. Melalui fagositosis via reseptor untuk Fc dan C3b, terjadi anemia yang progresif. Antibodi yang dibentuk berupa aglutinin panas atau dingin, tergantung dari suhu yang dibutuhkan untuk aglutinasi.
4)   Reaksi Obat
        Obat dapat bertindak sebagai hapten dan diikat pada permukaan eritrosit yang menimbulkan pembentukan Ig dan kerusakan sitotoksik. Sedormid dapat mengikat trombosit dan Ig yang dibentuk terhadapnya akan menghancurkan trombosit dan menimbulkan purpura. Chloramfenicol dapat mengikat sel darah putih, phenacetin dan chloropromazin mengikat sel darah merah.
5)   Sindrom Goodpasture
        Pada sindrom ini dalam serum ditemukan antibodi yang bereaksi dengan membran basal glomerulus dan paru. Antibodi tersebut mengendap di ginjal dan paru yang menunjukkan endapan linier yang terlihat pada imunoflouresen.
        Ciri sindrom ini glomerulonefritis proliferatif yang difus dan peredaran paru. Perjalanannya sering fatal. Dalam penanggulangannya telah dicoba dengan pemberian steroid, imunosupresan, plasmaferisis, nefektomi yang disusul dengan transplantasi. Jadi, sindrom ini merupakan penyakit auroimun yang membentuk antibodi terhadap membrane basal. Sindrom ini sering ditemukan setelah mengalami infeksi streptococ.
6)   Myasthenia gravis
        Penyakit dengan kelemahan otot yang disebabkan gangguan transmisi neuromuskuler, sebagian disebabkan oleh autoantibodi terhadap reseptor astilkoli.
7)   Pempigus
        Penyakit autoimun yang disertai antibodi tehadap desmosom diantara keratinosit yang menimbulkan pelepasan epidermis dan gelembung-gelembung.
3.    Reaksi Hipersensitivitas Tipe III
Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag.
Penyebab reaksi hipersensitivitas tipe III yang sering terjadi, terdiri dari :
1. Infeksi persisten
Pada infeksi ini terdapat antigen mikroba, dimana tempat kompleks mengendap adalah organ yang diinfektif dan ginjal.
2. Autoimunitas
Pada reaksi ini terdapat antigen sendiri, dimana tempat kompleks mengendap adalah ginjal, sendi, dan pembuluh darah.


3. Ekstrinsik
Pada reaksi ini, antigen yang berpengaruh adalah antigen lingkungan. Dimana tempat kompleks yang mengendap adalah paru.
Reaksi hipersensitivitas tipe III sebagai bentuk penggabungan bentuk antigen dan antibodi dalam tubuh akan mengakibatkan reaksi peradangan akut. Jika komplemen diikat, anafilaktoksin akan dilepaskan sebagai hasil pemecahan C3 dan C5 dan ini akan menyebabkan pelepasan histamin serta perubahan permeabilitas pembuluh darah. Faktor-faktor kemotaktik juga dihasilkan, ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai menfagositosis kompleks-kompleks imun. Deretan reaksi diatas juga mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf yakni berupa enzim-enzim proteolitik (termasuk kolagenase dan protein-protein netral), enzim-enzim pembentukan kinin protein-protein polikationik yang meningkatkan permeabilitas pembuluh darah melalui mekanisme mastolitik atau histamin bebas. Hal ini akan merusak jaringan setempat dan memperkuat reaksi peradangan yang ditimbulkan.
     Kerusakan lebih lanjut dapat disebabkan oleh reaksi lisis dimana C567 yang telah diaktifkan menyerang sel-sel disekitarnya dan mengikat C89. Dalam keadaan tertentu, trombosit akan menggumpal dengan dua konsekuensi, yaitu menjadi sumber yang menyediakan zat-zat amina vasoaktif dan juga membentuk mikrotrombi yang dapat mengakibatkan iskemia setempat.
Kompleks antigen- antibodi dapat mengaktifkan beberapa sistem imun sebagai berikut :
1. Aktivasi komplemen
a.    Melepaskan anafilaktoksin (C3a,C5a) yang merangsang mastosit untuk melepas histamine
b.    Melepas faktor kemotaktik (C3a,C5a,C5-6-7) mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan enzim polikationik
2. Menimbulkan agregasi trombosit
a. Menimbulkan mikrotrombi
b. Melepas amin vasoaktif
3. Mengaktifkan makrofag
Melepas IL-1 dan produk lainnya
Contoh dari reaksi hipersensitivitas tipe III, diantaranya :
1)   Demam Reuma
Infeksi streptococ golongan A dapat menimbulkan inflamasi dan kerusakan jantung, sendi, dan ginjal. Berbagai antigen dalam membran streptococ bereaksi silang dengan antigen dari otot jantung, tulang rawan, dan membran glomerulus. Diduga antibodi terhadap streptococ mengikat antigen jaringan normal tersebut dan mengakibatkan inflamasi.
2)   Artritis rheumatoid
Kompleks yang dibentuk dari ikatan antara faktor rheumatoid (anti IgG yang berupa IgM) dengan Fc dari IgG akan menimbulkan inflamasi di sendi dan kerusakan yang khas.
3)   Infeksi lain
Pada beberapa penyakit infeksi lain seperti malaria dan lepra, antigen mengikat Ig dan membentuk kompleks imun yang ditimbun di beberapa tempat.
4)   Farmer’s lung
Pada orang yang rentan, pajanan terhadap jerami yang mengandung banyak spora actinomycete termofilik dapat menimbulkan gangguan pernafasan pneumonitis yang terjadi 6-8 jam setelah pajanan. Pada tubuh orang tersebut, diproduksi banyak IgG yang spesifik terhadap actynomycete termofilik dan membentuk kompleks antigen-antibodi yang mengendap di paru-paru.
4.    Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV
Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan.
Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis). Antigen ini mungkin berhubungan atau telah diolah oleh sel makrofag dan bereaksi dengan reseptor di permukaan sel limfosit yang pernah berkontak dengan antigen yang sama dan beredar sebagai sel memori. Setelah berkontak dengan antigen, sel itu berubah menjadi blast cell dan mengalami mitosis sambil mengeluarkan zat-zat sebagai berikut:
a. Macrophage inhibition factor (MIF)
Zat ini dapat mengalami migrasi sel makrofag in vitro serta mengubah morfologi dan sifat sel itu menjadi sangat aktif. Zat ayng menyebabkan perubahan ini adalah Macrophage Activation Factor (MAF), sehingga sel makrofag tersebut menjadi lebih efektif untuk mematikan kuman yang telah difagositosis olehnya. Hal yang serupa terjadi pada sel tumor dimana sel makrofag dirangsang oleh zat yang dinamakan Spesific Macrophage Arming Factor (SMAF).


b. Monocyte chemotactic factor
Sel monosit akan bergerak ke arah dimana terdapat konsentrasi tinggi dari zat itu.
c. Skin reactive factor
Meninggikan permeabilitas pembuluh darah yang menyebabkan eksudasi sel leukosit.
d. Faktor lain
Terdapat pula faktor yang merangsang mitosis pada sel limfosit netral yang bersifat sitotoksik terhadap beberapa sel.          
Untuk tipe IV diperlukan masa sensitasi selama 1 – 2 minggu, yaitu untuk meningkatkan jumlah klon sel T yang spesifik untuk antigen tertentu. Antigen tersebut harus dipresentasikan terlebih dahulu oleh APC. Kontak yang berulang akan menimbulkan rentetan reaksi yang menimbulkan kelainan khas dari CMI.
Contoh reaksi hipersensitivitas tipe IV :
1)   Reaksi JM (Jones Mole)
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka terhadap siklofosfamid.
Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.
Kelinci yang digigit tungau menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat mematikan dan melepaskan tungau tersebut.
Basofil telah ditemukan pula pada dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.
2)   Dermatitis kontak
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell (APC) memegang peranan pada reaksi ini.
Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit, cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia seperti prikil klorida dan kromat.
Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung.
3)   Reaksi Tuberkulin
Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit. Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai konsekuensi CMI.

Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel yang diinfektif virus oleh sel-Tc.
4)   Reaksi Granuloma
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini, dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting sebagai berikut:
a.    Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang berdegenerasi.
b.    Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan sekresi sitokin.
c.    Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi sitokin.
Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan granuloma (agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma). Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang sudah ada dalam jaringan.
Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap, misalnya pada alveolitis alergik.
Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun seluler yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh antigen mikroorganisme yang sama, misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae. Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas terhadap zarkonium, sarkoidosis dan rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum). Dalam hal-hal tersebut makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.
Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic, karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia Langhans (jangan dikaburkan dengan sel Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid dan makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.





















BAB III
REAKSI IMUNODEFISIENSI

3.1    DEFINISI
Imunodefisiensi adalah keadaan dimana terjadi penurunan atau ketiadaan respon imun normal. Keadaan ini dapat terjadi secara primer, yang pada umumnya disebabkan oleh kelainan genetik yang diturunkan, serta secara sekunder akibat penyakit utama lain seperti infeksi, pengobatan kemoterapi, sitostatika, radiasi, obat-obatan imunosupresan (menekan sistem kekebalan tubuh) atau pada usia lanjut dan malnutrisi (Kekurangan gizi).
Immunodefisiensi adalah sekumpulan keadaan yang berlainan , dimana system kekebalan tidak berfungsi secara adekuat , sehingga infeksi lebih sering terjadi , lebih sering berulang , luar biasa berat dan berlangsung lebih lama dari biasanya.
Penyakit imunodefisiensi kombinasi parah adalah gangguan imunodefisiensi paling serius. Itu bisa disebabkan oleh beberapa kerusakan genetika berbeda, kebanyakan yang adalah menurun. Salah satu bentuk gangguan tersebut disebabkan oleh enzim adenosine deaminase. Dahulu, anak dengan gangguan ini dijaga di ruang isolasi ketat, kadangkala di dalam tenda plastik, menyebabkan gangguan tersebut disebut ‘sindrom bubble boy

3.2    BENTUK IMUNODEFISIENSI
3.2.1   Primer
a)    Severe combine immunodeficiency disease (SCID)
                    -    Ditandai oleh limfopenia
                    -    Kelenjar limfe, limpa, tonsil, appendik : tidak mengandung jaringan limfoid.
                    -    50 % penderita resesif autosomal SCID → ADA (adenosin deaminase) pada limfosit dan erytrosit → akumulasi metabolit deoksidenosin & deoksi ATP → toksin untuk.. limfosit
                    -    Terapi : transplantasi ssm. Tulang.



b)    X linked agammaglobulinemia of BRUTON.
                    -    Paling sering ditandai :
                    -    sel B matang oleh karena mutasi gen tirosin kinase yang diekspresikan pada sel B muda → Ig serum.
                    -    Imun seluler normal.
                    -    Sering infeksi bakteri berulang.
c)    Defisiensi Ig A terisolasi (isolated Ig A deficiency)
                    -    Umunya : tanpa gejala seperti infeksi traktus respiratorius,Kelainan Autoimun.
                    -    efek : kegagalan pematangan sel B positif – Ig A.
                    -    Terapi : tranfusi darah yang mengandung Ig A sehingga terjadi anafilaksis
d)    Common variabel immunodeficiency
                    -    Hipogamaglobulinemi, kadang : Ig G
                    -    Sebagaian besar kasus : sel B normal menyabakan diferensiasi sel plasma
                    -    Folikel limfoid : hiperplastik.
e)         SINDROMA WISKOTT – ALDRICH (Imunodefisiensi dengan Trombositopenia dan eksema)
                    -    Ditandai : trombositopenia, eksema, inf  berulang.
                    -    Terapi : transplantasi sumsung tulang
f)          SINDROMA DIGEORGE (HIPOPLASIA TIMUS)
                    -    Kelainan multiorgan
                    -    Ditandai dengan :
                    -    Hipoplasi / aplasia timus.
                    -    Hipoplasi paratiroid (hipokalsemi).
                    -    Efek : cong.jantung
                    -    Terapi : cangkok timus


3.2.2   Sekunder
Perubahan Fungsi Imunologik : inf, malnutrisi, penuaan,  imunosupresi, kemoterapi
Didapat oleh karena:
-   Infeksi : AIDS
-   Penggunaan obat : - Kemoterapi
-   Imunosupresif
-   Peny lain : leukemia
-   ACQUIRED IMMUNODEFICIENCY SYNDROME (AIDS) oleh karena HIV – 1 (Human Immunodeficency Virus), ditandai :
a)    Supresi imunitas (sel T)
b)   Inf oportunistik.
c)    Keganasan sekunder.
d)   Kelainan neurologik
-   Cara penularan :
a)    Kontak seksual
b)   Parenteral
c)    Dari ibu yang terinfeksi pada janin
-   Kelainan SSP karena HIV.
       Sasaran utama infeksi HIV.
       Mell : monosit / makrofag.
-   Perjalanan peny. Infeksi HIV.
1.    Tahap dini / fase akut.
-  Viremia, ¯ CD4 + sel T
-  peny. akut yang sembuh sendiri = 6 – 12 mg ,nyeri tenggorokan, mialgia non spesifik, meningitis aseptik.
2.    Tahap menengah, fase kronik
-  Keadaan laten secara klinis, replikasi rendah, CD4 + ¯ perlahan
-  Kel. Limfe.
-  Akhir tahap : demam, kemerahan kulit, kelelahan, viremi.
-  7 – 10 tahun
3.    Tahap akhir, fase krisis = AIDS.
-  Pertahanan ¯ cepat : CD4 + rendah, BB ¯, diare, inf. oportunistik, keganasan sekunder.
-  AIDS : HIV (+) dan sel T CD4 + < 200 sel / Ul.

3.3              ETIOLOGI
Immunodefisiensi bisa timbul sejak seseorang dilahirkan (immunodefisiensi kongenital) atau bisa muncul di kemudian hari.
Immunodefisiensi kongenital biasanya diturunkan. Terdapat lebih dari 70 macam penyakit immunodefisiensi yang sifatnya diturunkan (herediter).
Pada beberapa penyakit, jumlah sel darah putihnya menurun; pada penyakit lainnya, jumlah sel darah putih adalah normal tetapi fungsinya mengalami gangguan. Pada sebagian penyakit lainnya, tidak terjadi kelainan pada sel darah putih, tetapi komponen sistem kekebalan lainnya mengalami kelainan atau hilang.
Immunodefisiensi yang didapat biasanya terjadi akibat suatu penyakit. Immunodefisiensi yang didapat lebih banyak ditemukan dibandingkan dengan immunodefisiensi kongenital.
Beberapa penyakit hanya menyebabkan gangguan sistem kekebalan yang ringan, sedangkan penyakit lainnya menghancurkan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi.
Pada infeksi HIV yang menyebabkan AIDS, virus menyerang dan menghancurkan sel darah putih yang dalam keadaan normal melawan infeksi virus dan jamur
Orang yang memiliki kelainan limpa seringkali mengalami immunodefisiensi. Limpa tidak saja membantu menjerat dan menghancurkan bakteri dan organisme infeksius lainnya yang masuk ke dalam peredaran darah, tetapi juga merupakan salah satu tempat pembentukan antibodi.
Jika limpa diangkat atau mengalami kerusakan akibat penyakit (misalnya penyakit sel sabit), maka bisa terjadi gangguan sistem kekebalan.
Jika tidak memiliki limpa, seseorang (terutama bayi) akan sangat peka terhadai infeksi bakteri tertentu (misalnya Haemophilus influenzae, Escherichia coli dan Streptococcus). Selain vaksin yang biasa diberikan kepada anak-anak, seorang anak yang tidak memiliki limpa harus mendapatkan vaksin pneumokokus dan meningokokus.
Beberapa penyebab dari immunodefisiensi yang didapat:
1.    Penyakit keturunan dan kelainan metabolisme :
Ø Diabetes
Ø Sindroma Down
Ø Gagal ginjal
Ø Malnutrisi
Ø Penyakit sel sabit
2.    Bahan kimia dan pengobatan yang menekan sistem kekebalan
Ø Kemoterapi kanker
Ø Kortikosteroid
Ø Obat immunosupresan
Ø Terapi penyinaran
3.    Infeksi
Ø Cacar air
Ø Infeksi sitomegalovirus
Ø Campak Jerman (rubella kongenital)
Ø Infeksi HIV (AIDS)
Ø Campak
Ø Infeksi bakteri yang berat
Ø Infeksi jamur yang berat
Ø Tuberkulosis yang berat
4.    Penyakit darah dan kanker
Ø Agranulositosis
Ø Semua jenis kanker
Ø Anemia aplastik
Ø Histiositosis
Ø Leukemia
Ø Limfoma
Ø Mielofibrosis
5.    Pembedahan dan trauma
Ø Luka bakar
Ø Pengangkatan limpa
-          Hal-hal yang sebaiknya dilakukan oleh penderita penyakit immunodefisiensi adalah :
Ø  Mempertahankan gizi yang baik
Ø  Memelihara kebersihan badan
Ø  Menghindari makanan yang kurang matang
Ø  Menghindari kontak dengan orang yang menderita penyakit menular
Ø  Menghindari merokok dan obat-obat terlarang
Ø  Menjaga kebersihan gigi untuk mencegah infeksi di mulut
Ø  Vaksinasi diberikan kepada penderita yang mampu membentuk antibodi.


















DAFTAR PUSTAKA


















Tidak ada komentar:

Posting Komentar

....ATUR NUHUN....